Selasa, 12 April 2011

Kegagalan yang Berulang Mengapa Pemuda Selalu dalam Kritis?


Kegagalan yang Berulang
Mengapa Pemuda Selalu dalam Kritis?
Pemuda adalah terminal bagi setiap minat dan cita-cita. Pemuda adalah permasalahan besar yang harus diangkat dan didiskusikan dalam perkumpulan-perkumpulan kita.
Membangun pemuda lebih penting daripada membangun jembatan, jauh lebih penting daripada sekadar membuat jalan, bahkan lebih penting membuat gedung-gedung pencakar langit. Itu semua tidak ada nilainya di tengah sirnanya pemuda.
Apakah Artinya Tanah Air Tanpa Kehadiran Pemuda
Obrolan, diskusi, ceramah panjang......akan tetapi realitanya, pemuda entah ada di mana, dan orang yang bicara tentang mereka pun entah di mana pula.
        Walhasil, kegagalan berulang terus berlanjut hingga sulit menghindarinya. Krisis datang silih berganti dan begitu cepat. Namun tidak ada seorang pun yang mencari tahu penyebab kegagalan ini, tidak juga tentang krisis yang berkepanjangan. Mereka hanya bertanya : Mengapa pemuda kita berubah, tidak seperti dulu? Semua berubah: pakaian, model, fisik, perilaku,......
        Hati para orangtua, guru, dan semua yang peduli dengan kebaikan dipenuhi kemalangan. Semua bertanya-tanya: Di mana iman? Kemana ikhlas? Mana semangat yang menggelora? Mana kerja yang gigih? Di mana kemauan yang kuat? Ke mana para pemuda? Jawabannya nol. Siapa? Pemudanya nol.
        Mengapa? Seoarang pun tidak ada yang berupaya mengungkap sebab, mengapa pemuda menjadi seperti ini.
        Mereka begitu dikarenakan hal-hal berikut ini.
Pertama: Kehilangan Misi dan Tujuan
Ke mana para pemuda brafiliasi? Tentu kepada umat Islam. Umat Islam merupakan umat Allah, pembawa risalah-Nya untuk seluruh alam, dimulai dari generasi sahabat, tabi’in, hingga berakhir pada generasi mujahidin yang kelak memerangi dajjal bersama Isa Ibnu Maryam.
        Hilangnya misi dan tujuan yang keduanya merupakan argumen dasar kelahiran umat ini merupakan penyebab utama kegagalan yang menimpa umat kita serta hilangnya peran pemuda.
“Umat ini adalah umat berakidah, umat dakwah, umat iman......              jika tidak kembali seperti semula, apa jadinya pemuda-pemudanya?”
        Bangsa Arab telah berperan dalam menolong agama ini. Mereka menahan derita yang hebat dalam membawa dan menyebarkan risalah ini. Mereka memilih misi dan tujuan agung. Namun, misi dan tujuan itu kini telah berubah. Yang ada adalah kepentingan duniawi yang bertolak belakang dengan agama. Yang ada adalah misi-misi remeh tak berarti. Akibatnya, umat terpecah-pecah menjadi bangsa dan negara-negara kecil.
        Kekuatan politik (umat) pun menjadi lemah. Pemimpin setiap negeri hanya memikirkan bagaimana menjaga kursinya. Ia telah lupa firman Allah Swt., “Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.” (Q.S. Ali ‘Imran: 110)
        Sementara itu, masyarakat secara otomatis akan mudah mengikuti kebiasaan pemimpin-pemimpinnya. Misi para pemimpin pun akhirnya menjadi misi rakyat, menjadi misi setiap warga, termasuk para pemuda umat ini.
“Maka, bersamaan dengan hilangnya misi dan tujuan, peran pemuda pun menjadi sirna.”
Kedua: Hidup dalam Situasi Krisis Kepercayaan terhadap Lingkungan
Lihatlah lingkungan tempat para pemuda itu........ Semua tengah dilanda krisis kepercayaan. Tsiqoh (kepercayaan) telah tercerabut dari masyarakatnya. Krisis kepercayaan terjadi antara penguasa dan rakyat. Ada saling curiga, takut, dan tidak ada rasa percaya.
        Krisis kepercayaan antara mahasiswa dan dosen, sisiwa dan guru, antara generasi muda dan orang tua, antara kaum pria dan wanita, atasan dan bawahan. Kelompok-kelompok yang beraneka ragam, golongan yang berbeda-beda, strata sosial yang bertingkat, satu sama lain tidak saling percaya, tidak saling bekerja sama.
        Akibatnya, skill, kemampuan, dan keahlian individu menjadi mandul.
        Akibatnya, krisis kepercayaan itu mengebiri semangat kreativitas, inovasi, produktivitas, kesungguhan, dan kerja sama.
        Akibatnya, yang ada adalah mencari-cari kesalahan dan aib orang lain. Malah di saat tidak menemukannya, kita sendiri justru yang membuat dan menciptakannya.
        Akhirnya kerusakan menyeluruh terjadi di masyarakat, lingkungan tempat para pemuda. Selanjutnya ia hidup memisahkan diri dan masuk dalam krisis berikutnya. Ia terus hidup termarginalkan dalam segala hal.
Ketiga: Kehilangan Qudwah (Panutan)
Al-Qudwah tidak mungkin terwujud tanpa tarbiyah. Sementara itu, tarbiyah sejati tidak ada, karenanya qudwah tidak pernah terwujud. Lalu kepada siapa para pemuda ber-qudwah? Qudwah harus hidup, sebab qudwah yang hidup adalah esensi dari tarbiyah dan ajaran etika.
        Sekarang kita bertanya, mana keteladanan seorang ayah bagi sang anak di rumah? Atau seorang ibu untuk anak perempuannya?
        Mana keteladanan dalam media informasi? Media terkadang hanya menampilkan artis sebagai idola, pemain bola sebagai sang idola, atau terkadang pemimpin, hartawan, dan pribadi biasa yang tiba-tiba melejit.
        Padahal sang ayah seorang pencuri, pembual di mata anaknya.
        Artis yang hiprokit, bersikap kontra agama, adab, dan etika umum.
Pemain bola yang Anda saksikan di layar kaca mencaci dan menghina, atau di lapangan hijau berlaku asusila sehingga terseret ke pengadilan.
        Kaum pemimpin, hartawan, dan pribadi awam, sekarang berkelana di belakang rel kereta, atas tuduhan kriminal, perampokan uang di bank demi kepuasan-kepuasan haram.
        Akhirnya, pemuda tak menemukan idolanya, sementara setiap orang berebut lebih dari satu figur-figur buruk. Di benaknya, ia adalah si fulan dan si fulan. Padahal, mereka semua bukanlah panutan yang baik. Sebaliknya, para tokoh teladan itu menghilang dari kehidupan pemuda, lalu akhirnya pemuda harus hidup sendiri.
Keempat: Kehilangan Motivasi
Jika Anda bertanya kepada seorang pemuda, setelah selesai sekolah mau jadi apa? Apa yang ia inginkan? Menjadi dokterkah seperti ayahnya? Insinyurkah seperti ibunya atau petani seperti kakeknya?
        Jawabannya: “Aku tidak tahu”
Artinya, ia sekolah hingga lulus tanpa pernah berpikir serius tentang pelajaran yang dipelajarinya selama bertahun-tahun, dengan menghabiskan biaya besar dan jerih payah orangtuanya. Sebuah perjuangan tanpa tujuan, kekuatan yang tidak di bimbing akal.
        Di manakah motivasi yang membuatnya merasakan kehadiran jati dirinya? Yang mendorongnya berkarya, berkorban, dan berpartisipasi dalam membangun hal-hal yang baik.  Kita benar-benar lupa kalau syariat Allah lebih dulu telah menetapkan adanya pahala dan balasan. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Q.S. Az-Zalzalah:7)
        Inilah salah satu motivator jitu, pahala di sisi Allah bagi setiap amal baik dan siksa bagi amal buruk. Bagaimana motivasi itu akan tumbuh seandainya Anda meyakini kalau kaki pemain-pemain bola itu lebih mulai ketimbang kepala para ulama. Tidak ada lagi motivasi yang mendorong untuk berkarya, berkorban, dan berbuat maksimal.
Tidak ada lagi motivasi bagi para ulama dan kreator.
Para guru, pendidik dan kaum profesional tak lagi memiliki      motivasi.
Begitu juga para peneliti dan pemerhati.
Tak ada lagi motivasi bagi orang berbakat.
Tak berbeda lagi antara sang inovator, orang biasa, dan si tukang tidur.
Jadi, mengapa aku harus bersusah payah dan bersungguh-sungguh? Yang tumbuh adalah perasaan berontak, ‘uzlah (menghindar), menarik diri, dan tidak menyesuaikan diri dengan masyarakat. Tidak Cuma itu, yang terjadi adalah memerangi masyarakat itu sendiri. Bertambahnya rasa benci dan dendam di antara warga.
Kelima: Hidup dalam Krisis Profesionalitas
Feodalisme, fanatisme golongan, atau rasisme hadir dalam kehidupan. Standar penilaian  dalam taqwim (evaluasi), taqdim (promosi), taudhif (penempatan job), dan ri’ayah (memberikan perhatian) seseorang tidak lagi dilandasi standar syariah. Allah berfirman, “Karena sesungguhnya orang yang paling baik  yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat di percaya.” (Q.S. Al- Qashash:26)
        Padahal ayat di atas mengisyaratkan bahwa al-quwwah (kekuatan, potensi) dan al-amanah (kejujuran) itu adalah menurut standar agama.
Quwwah harus hadir dalam ilmu, akhlak profesionalisme, dan amanah (jujur).
        Ketika standar syari’ah itu tidak diterapkan, akibatnya terjadilah krisis. Orang-orang yang gigih, reformis, dan jujur harus tersingkir demi kepentingan kerabat dan teman dekat. Akibatnya, kekayaaan raksasa itu menjadi sia-sia, terutama potensi pemudanya. Amanah pun sirna. Oleh karena itu, untuk apa para pemuda menaruh perhatian terhadap kemampuannya serta mengembangkannya dengan segala cara?
Keenam: Hidup dalam Krisis Beragama
Para pemuda hidup dalam krisis menipisnya rasa muraqabatullah, hilangnya rasa takut sekiranya nanti bertemu dengan-Nya. Oleh karena itu, bagaimana dirinya mampu menanamkan neraca dan timbangan dalam menerima kebaikan dan menolak kejahatan secara sadar?
        Perhatikan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam-ketika itu sebagai pemuda- dalam sebuah rumah istri Al-‘Aziz sang pemilik rumah, segala sesuatu telah dimudahkan untuknya berbuat sesuka hati, pintu-pintu telah terkunci, mereka hanya berdua bahkan si wanita menawarkan dirinya, “mari kemarilah”.
        Dengan tegar Yusuf menjawab,”Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik, sesungguhnya orang-orang yang zhalim tidak akan beruntung.” (Q.S. Yusuf: 23)
        Ini sungguh sebuah peristiwa yang dahsyat, sebuah perasaan takut terhadap Allah dan kesadaran beragama yang menjadikan pemuda menghindari perkara haram walaupun berada dalam genggamannya. Kekuatan yang telah mendorongnya berbuat taat, meski membahayakannya.
        Sebaliknya, jika tidak ada keyakinan dan perasaan tersebut, Anda akan mendapatkan pemimpin yang melupakan tugasnya, guru yang lalai dalam kewajibannya......pelajar yang tidak peduli dengan masa depannya.....ayah yang tidak berperan sebagai kepala rumah tangga bagi keluarga dan anaknya.....
        Mereka semua telah lalai dan melupakan tugas. Penyebabnya adalah lemahnya kesadaran beragama, sehingga ruhnya menjadi kering, dalam hatinya tidak ada cahaya, tidak ada yang menyadarkannya. Yang ada hanya kepercayaan materialisme, seakan materi adalah segalanya dalam hidup ini.
        Jika bicara soal taqwa, petunjuk, ‘iffah (menjaga diri), dan kekayaan jiwa, anda mendapatinya memiringkan kepalanya seolah tidak percaya dengan perkara  tersebut. Ia hanya percaya kepada yang konkret, kausalitas, dan perkara-perkara yang didasarkan pada metode ilmiah yang memiliki konklusi.
        Akibatnya, niat tulus dalam bekerja lenyap. Tidak ada yang bekerja kecuali untuk kepentingan duniawi yang sesaat.
Akibatnya, perintah didengarkan, tapi dilanggarnya, larangan disimak, namun dilakukan juga.
        Akibatnya, hak-hak Allah terlupakan, begitu juga hak-hak sesama terabaikan. Bahkan terkadang ia berbuat zhalim kepadanya dan kepada dirinya sendiri.
Ketujuh: Reaksioner, Emosional, Jumud, dan Tidak Memiliki Daya Saing
Berikut ini beberapa perilaku yang disadari atau tidak telah terbentuk dalam pemikiran dan perilaku kaum muda.
·         Kita tidak mengetahui problem kita sesungguhnya, bahkan terkadang mengingkarinya. Terkadang juga kita merasa tidak mampu melakukan kreasi baru dari yang sudah ada. Semua berjalan persis seperti yang sudah-sudah. Kita tidak memiliki daya saing. Sebagian di antara kita lebih senang berada dalam status quo, tidak mau berubah dan pasrah dengan apa yang ada.
·         Sebagian dari kita memecahkan persoalan dengana cara yang tidak produktif, misalnya dengan berdebat, berlebihan dalam menanggapi, ta’ashub (fanatik), terlalu memihak salah satu teori tertentu, mengimpor metode pemecahan yang sudah jadi, atau malah membiarkan masalah berlarut-larut dengan anggapan, nanti waktu yang akan menjawabnya.
·         Kadang kita juga hanya mengandalkan dan menunggu orang lain untuk bertindak, menghadapi persoalan dengan perasaan. Semua itu hanya melanggengkan derita dan tidak menghentikan kolaps.
·         Sebagian dari kita tidak percaya dengan keterusterangan, saling menasehati di antara kita. Tidak ada transparansi dan tidak mendiskusikan persoalan dengan cara yang benar. Hal ini karena kita terkadang tidak menginginkan adanya pergolakan dan timbul fitnah.
·         Sebagian dari kita memiliki wawasan yang sempit, ta’ashub dengan adat dan kebiasaan serta berpegang kepada aksioma dan doktrin yang tidak memiliki dasar syar’i maupun aqli.
·         Sebagian dari kita memfokuskan kepada kesalahan dan penyimpangan.
·         Lebih memperhatikan bentuk daripada esensi, kuantitas daripada kualitas.
·         Selalu melupakan mereka.
Kedelapan: Hidup sebagai Pengecut
“Mata pengecut tak pernah bisa terpejam”, begitu sebuah pepatah mengatakan. Kita hidup dalam sejarah itu. Kita menanamkan ketakutan dalam diri pemuda kita, khawatir dari segala hal. Kita menghalangi mereka melakukan experiment (pengalaman dan percobaan) dengan alasan hal itu akan mengancaam hidupnya.
        Akhirnya, ia menjadi takut bertindak berani dan menjadi pengecut. Ia takut gagal dan kehilangan kesuksesan. Ia takut salah dan karenanya selamanya tidak dapat bertindak tepat.
        Lalu kita menerawang ke belakang dan bertanya-tanya; Di mana kita bisa dapatkan contoh nabiyullah Musa ‘Alaihissalam-sebagai pemuda- berdiri tegar di depan penguasa thagu yang mengaku Ilah dan berlaku congkak, Fir’aun.
        Di mana kita bisa temukan pemuda seperti Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang mengumpulkan kaumnya. Di sana ada Abu Lahab, Abu Jahal, Uthbah, Syaibah, dan Umayyah bin khalaf serta segenap para pembesar Quraisy. Kemudian beliau berdiri tegar di hadapan mereka sebagai pemeberi peringatan.
        Di mana kita bisa menemukan pemuda belia seperti Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, kekasih Allah yang menghancurkan berhala-berhala lalu mengatakan kepada kaumnya termasuk Namruz pimpinannya, sang pembangkang besar. “Ah, (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?” (Q.S. Al-Anbiya:67)
        Jika mereka itu para nabi (dan kita menganggapnya sebagai hal yang wajar), kita bisa bertanya dengan contoh lainnya. Mana keberanian Imam Ahmad bin Hanbal ketika berdiri menghadang kaum zhalim dalam masalah Kholqul Quran.
        Kemudian juga Ibnu Taimiyyah ketika bersabar dan terus menyuarakan kebenaran, meskipun untuk itu ia harus menanggung derita, dipenjara, dan disiksa.
        Keberanian adalah kekuatan dalam hati yang menjadikan pemiliknya tidak nekat dan tidak lari meski seorang diri. Ia tidak melepaskan kebenaran meski hal itu menuntut pengorbanan. Ia tidak akan berbasa-basi, berbuat nifak atau menjilat.
        Kita hidup sebagai pengecut. Oleh karena itu, kembali kita bertanya-tanya: Mengapa pemuda berbuat begitu?
Kesembilan: Menjadi Mangsa Ghazwul Fikri
Dunia kini ibarat sebuah kampung. Satu peristiwa yang terjadi di ujung bumi sana, pengaruhnya bisa dirasakan penduduk di ujung bumi lainnya. Inovasi-inovasi baru di bidang pakaian atau mode, pemikiran atau ideologi dalam waktu yang relatif singkat bisa menambah dan digandrungi barat dan timur. Itu semua disebarkan melalui media, yang sekarang hampir tidak ada daerah atau negeri yang luput darinya.
        Stasiun-stasiun pemancar, televisi, radio, video, audio visual,........ koran, buku, seminar-seminar..... dan lain-lain, semua itu telah menularkan dampak dan pengaruh kepada yang lainnya. Kita tentunya membutuhkan kerja keras bukan untuk menutup akses media-media tersebut, namun untuk memberikan arahan dan penjelasan serta counter terhadap syubuhat dan pemikiran-pemikiran serta ideologi-ideologi impor.
        Akan tetapi, kekuatan yang kita miliki masih sangat kecil untuk menghadapi arus kuat perang pemikiran dan informasi ini. Jelas, secara otomatis itu menyebabkan hilangnya peran pemuda dan lainnya.
        Akibatnya, perilaku-perilaku aneh kerap ditemukan dalam kehidupan pemuda kita. Padahal kehidupan pemuda yang kacau...... merupakan hal mendasar.
        Artinya apa? Persoalan menjadi kompleks. Tidak ada tujuan jelas dan kerja yang profesional. Seseorang memulai sebuah pekerjaan lalu ditinggalkan; menggarap satu proyek tapi tidak diselesaikan; menempuh satu cara kemudian berpindah  ke yang lain. Begitulah terus silih berganti. Waktu dan tenaga terbuang percuma. Kegagalan tak terelakan. Adanya rasa futur (patah semangat) dan inqitha’ (terputus).
Adapun potret ketidakberesan kehidupan pemuda adalah:
a.   Kacau dalam belajar.
b.   Serampangan dalam kegiatan belajar-mengajar.
c.   Kacau dalam manajemen waktu,seperti
·         Pekerjaan kecil menghabiskan waktu dan tenaga melebihi dari yang seharusnya;
·         Membuang-buang waktu tanpa melakukan tugas apa pun;
·         Menumpuknya lebih dari satu tugas pada satu waktu;
·         Menghabiskan waktu dalam urusan sia-sia;
·         Program harian berlalu tanpa perencanaan;
·         Berkunjung dan ziarah yang tidak teratur.
d.    Ketidakteraturan  terjadi di mana-mana sampai dalam beribadah, bagi orang yang multazim sekalipun. Terkadang kita dapati seorang pemuda yang rajin tilawah, kemudian berhenti lama sampai tergolong sebagai orang yang menjauhi Al Qur’an. Kadang, ia rajin shaum lalu berhenti, atau shalat malam, kemudian meninggalkannya, bahkan terkadang merembet ke perkara-perkara wajib. Ia mulai shalat sendiri tidak berjamaah, umpamanya.
Hal yang sama bisa terjadi dalam berdakwah kepada Allah, sangat mungkin Anda mendapati seseorang membina sebuah generasi secara serampangan, sedangkan ia tidak menyadarinya.
e.   Serampangan dalam membuat program yang meliputi
·         Serampangan dalam materi-materi yang akan disampaikan;
·         Serampangan dalam berfikir.
Apa yang kemudian terjadi?
·         Pikiran menjadi bercabang sehingga tidak mampu membuat keputusan tepat.
·         Gelisah dan banyak murung.
·         Kemauan yang lemah yang menimbulkan rasa malas, tidak ulet dalam bekerja.
·         Tidak mengadakan monitoring atau evaluasi terhadap dirinya.
·         Hilangnya empati dan cinta.
·         Malas dan futur.
·         Tidak mau menerima nasihat.
·         Tidak peduli, selalu negative thinking dan kalah sebelum bertanding.
·         Hilangnya kekuatan sabar.
·         Tujuan yang tidak jelas.
·         Tidak ada skala prioritas.
·         Tidak ada pembagian tugas.
Bukan itu saja, bahkan sangat mungkin melebar menjadi
·         Merasakan kebosanan belajar,
·         Melawan arus dan banyak bercanda;
·         Melanggar aturan;
·         Menjadi pecandu obat terlarang;
Akhirnya, kita mendapatkan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi lumrah:
·         Hidup untuk dirinya sendiri.
·         Cenderung untuk tidak melaporkan kejadian yang dilihatnya (bersikap apatis).
·         Meremehkan aturan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
·         Membatasi perhatiannya hanya dalam lingkungan keluarga.
·         Melalaikan tugasnya tanpa ada rasa peduli.
·         Dalam pandangannya, kebahagiaannya dan kenyamanan dirinya adalah tujuan utamanya.
·         Tidak melibatkan diri dalam urusan apapun, sekalipun terjadi di hadapannya.
·         Peristiwa-peristiwa nasional yang terjadi tidak membuatnya bergeming.
·         Orang lain tidak mendapatkan bagian dalam hidupnya.
·         Tidak memikirkan kerusakan yang terjadi pada fasilitas umum.
·         Ia berprinsip selama bahaya tidak menimpa dirinya, persetan dengan orang lain  mau ke neraka sekalipun.
·         Ia beranggapan menjauhi manusia adalah ghanimah.
·         Ia meyakini pepatah:
§  Merusaklah, engkau akan makmur. Tak ada urusan, yang penting rumahku aman.
§  Mempelai wanita untuk mempelai pria, bagi yang tersungkur harus berlari.
§  Juha lebih berhak mendapatkan daging kerbaunya. Setiap orang memikul tanggung jawabnya.
·      Membiarkan orang lain berbuat yang menurut mereka manis, sekalipun itu salah.
·      Membiarkan orang yang menyia-nyiakan potensi masyarakat, ia tidak merasa terganggu dengan perbuatan itu.
·      Ia menganggap, penjajahan dan kehinaan yang terjadi dengan orang lain adalah urusan mereka, mengapa dirinya harus sibuk dengannya.
·      Ia menyakini bahwa persoalan-persoalan masyarakat dan negara adalah bukan urusannya.
·      Sibuk mengurusi problemnya dan tidak peduli dengan problem orang lain.
·      Menurutnya yang utama adalah dirinya, adapun yang selainnya hanyalah angin.
·      Tidak mengulurkan tangannya untuk membantu orang yang ditimpa bahaya.
·      Menurutnya, pengorbanan itu tindakan gila. Tidak ada yang berhak menerima pengorbanan.
·      Meyakini bahwa ruang lingkup gerakannya hanya seputar rumah, pekerjaan, dan tempat ibadahnya.
·      Mencoba untuk menyenangkan semua pihak, meskipun mengorbankan kebenaran.
·      Tidak ambil pusing dengan pelanggaran apapun yang terjadi yang mengusik kepentingan umum.
·      Tidak mengetahui sedikitpun tentang tetangganya dan memang tidak harus mengetahui.
·      Lebih senang jalan sendiri tanpa teman.
·      Tidak serius dalam mendiskusikan topik apapun.
·      Tidak peduli dengan tradisi masyarakat atau aturan-aturannya.
·      Cenderung dengan permainan perorangan daripada kelompok.
·      Tidak membebani dirinya untuk menasehati atau menunjuki yang berbuat salah.
·      Segala aktivitas sosial atau politik adalah musuh.
·      Tidak penting baginya kenyamanan dan kemaslahatan orang lain, yang penting adalah kenyamanan dirinya.
·      Tidak memiliki teman, cukup dirinya adalah temannya. Sementara itu, persahabatan adalah tipu muslihat dan mengancam kepentingannya.
·      Membenci setiap perkumpulan dan berusaha menjauhinya.
·      Tidak menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
·      Perasaan orang lain baginya tidak ada harganya, sehingga tidak perlu bersimpati.
·      Melaksanakan sholat di rumah meskipun dekat dengan masjid, itu untuk menghindari bersinggungan dengan jamaah.
·      Tidak peduli dengan kesusahan orang, kesusahan dirinya sudah cukup.
·      Menjual kesusahan orang dan mengambil manfaat darinya.
·      Tidak peduli apakah keluar dari akhlak dan tatanan nilai.
·      Sikapnya tergantung arus yang ada.
·      Tidak merasa terganggu dengan kerusakan.
·      Selama problem negara tidak mempengaruhi hidupnya, ia tidak akan peduli.
·      Tidak memiliki intima (loyalitas) politik maupun idiologi, ia tidak mendukung klub olahraga manapun.
·      Bersikap masa bodoh, sebagai akibat pudarnya orisinalitas akhlak dan keteladanan.
·      Menyesuaikan dengan selera orang untuk menghindari kejahatannya.
·      Menentang tradisi dan aturan masyarakat, serta terang-terangan menyalahinya.
·      Menyembunyikan kesaksian demi kesenangan semua pihak.
·      Tidak memiliki rasa malu dari perbuatan salah atau saat melakukannya.
Di akhir bahasan ini, saya menyiapkan analisis tentang faktor-faktor terpenting pendorong penyimpangan pemuda yang berkaitan dengan beberapa aspek, di antaranya:
a.   Aspek agama
·         Nilai-nilai meterialisme yang mengungguli nilai-nilai ruhiyah (spiritual).
·         Tidak dtegakkannya hukum islam (syari’at hudud).
·         Mandulnya metode-metode nasihat dan bimbingan agama.
b.   Aspek budaya dan informasi
·         Lemahnya perhatian media tentang persoalan pemuda.
·         Materi-materi media yang kontra dengan nilai-nilai masyarakat.
·         Mandulnya lembaga-lembaga budaya dalam gerakan pencerahan.
·         Ghozwu tsaqofi (perang budaya).
·         Kecilnya peluang pemuda dalam berkiprah di media informasi.
c.   Aspek pendidikan
·         Lemahnya pengawasan orangtua terhadap perilaku pemuda.
·         Lemahnya metode pendidikan agama dalam mempersiapkan pemuda.
·         Hilangnya peran guru teladan.
d.   Aspek sosial kemasyarakatan
·         Pudarnya sebagian nilai nilai kemasyarakatan (persahabatan: manfaat; kedermawanan: dibuat-buat; pengorbanan: perbuatan gila).
·         Egoisme dan perseteruan lebih dominan ketimbang kerja sama.
·         Solidaritas sosial lemah.
·         Maraknya penyakit-penyakit sosial, seperti suap, hipokrit.
·         Lemahnya nilai spiritual masyarakat serta lemahnya kesadaran akan krisis.
e.   Aspek politik
·         Kecilnya peluang pemuda dalam partisipasi politik.
·         Lemahnya kesadaran berpolitik di kalangan pemuda.
·         Tidak adanya kesamaan sikap antarpemuda dan lembaga-lembaga kepemudaan.
·         Adanya anggapan di kalangan pemuda bahwa partisipasi politik apa pun tidaklah efektif.
·         Kekhawatiran pemuda akan keterlibatannya dalam politik.
·         Ide-ide pemuda berkenaan dengan persoalan-persoalan bangsa tidak mendapatkan akses.
f.    Aspek kejiwaan
·         Ketidakmampuan pemuda menampakkan jati dirinya.
·         Hilangnya tujuan suci dalam hidup.
·         Suramnya hari esok, putus asa dengan masa depan.
·         Tekanan hidup dan perasaan tidak mampu.
·         Ambisi-ambisi yang kurang cerdas di kalangan pemuda.
g.   Aspek ekonomi
·         Peluang kerja yang kecil, pengangguran para alumni.
·         Kesenjangan yang kontras.
·         Krisis penduduk serta pemanfaatan kesulitan pemuda.
Nah, yang penting bagi kita sekarang adalah memulai dengan yang baru. Ya..... memulai mengenali pemuda. Wahai pemuda siapa kalian?

                            Sumber: Buku “The Power of Youth” karangan Muhammad Fathi.