Minggu, 21 Agustus 2011

ASYIKNYA KEGIATAN ROMADHAN DI SULAMUL HUDA


Ponorogo Jawa Timur, suara bising santri dengan logat arab menghiasi suasana di pagi itu, mereka saling berhadap-hadapan sambil membawa buku catatan di tangan kanan mereka. Sesekali terdengar ucapan “na’am, laa ba’s ya akh (ya, tidak apa-apa sobat)”, ya itulah suasana muhadatsah santri Sulamul Huda di salah satu kegiatan Dauroh Lughowiyah Wa Tsaqofiyah yang diadakan oleh IKASDA (Ikatan Alumni Sulamul Huda) Cabang Jakarta yang bekerjasama dengan IKASDA Pusat dan Pondok Pesantren Sulamul Huda Siwalan dari tanggal 15 sampai 17 Agustus 2011.
Kegiatan Dauroh ini termasuk salah satu program kerja tahunan Departemen Kaderisasi IKASDA Jakarta yang sangat disambut positif oleh pihak pondok, sehingga dengan ni’mat Alloh acara dauroh bisa berjalan dengan lancar selama dua tahun berturut-turut. Dauroh kali ini ternyata memberikan kesan yang sangat luar biasa bagi santri, bahkan mereka mengharapkan agar dauroh ditambah harinya  tidak hanya tiga hari saja.
            Dauroh tahun ini lebih berfokus pada pempraktekan bahasa arab yang notabennya adalah bahasa al-qur’an, sehingga materi-materi yang disampaikan sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas bahasa, seperti : Qiro’ah (Reading), Kitaabah (Writing), Hiwar (Speaking), Fahmul Masmu’ (Listening), Tsaqofah Islamiyah (Pengetahuan Tentang Islam) dan kegiatan pendukung lainnya, seperti : Game berbahasa arab, tahsin tilawah dan berkomunikasi menggunakan bahasa arab selama 24 jam.


Agenda dauroh ditutup dengan buka puasa bersama keluarga besar pondok dengan masyarakat sekitar yang bekerjasama dengan Qotar Charity Jakarta. Acara buka puasa bersama ini diawali dengan pengajian dan ustadz Abdurrohim, S.Pd.I sebagai muballighnya. Tujuan utama buka puasa bersama ini tidak lain untuk mempererat tali silaturrohmi antara pondok dengan masyarakat,    “ tahun ini buka barengnya rame ya dari pada tahun lalu, kalau bisa setiap tahun sulamul huda mengadakan acara seperti ini, biyar silaturrohmi dengan masyarakat semakin erat”, itulah petikan wawancara kami dengan salah satu wali santri melalui via phone.

Minggu, 31 Juli 2011

SUBHAANALLOH, LUAR BIASA AWAL TAHUN DI SULAMUL HUDA

SUBHAANALLOH……! LUAR BIASA AWAL TAHUN DI
SULAMUL HUDA


Oleh : Ardhan Misa Tonadisiki (Reporter Ikasda Media Jakarta)
Ponorogo JATIM. Subhaanalloh…………! Mungkin kalimat thoyyibah ini yang cocok buat Pondok Pesantren Sulamul Huda Siwalan Ponorogo JATIM, pasalnya di umurnya yang ke-18 dengan santri sekitar 190-an ia mampu bembuat masyarakat kagum padanya dengan menyuguhkan berbagai acara yang edukatif seperti PORSENI, KHUTBATUL IFTITAH, GELAR BUDAYA 2011 dan keikut sertaannya di berbagai lomba yang diadakan oleh kecamatan dalam rangka HUT RI ke-66, bahkan dalam keikutsertaannya tersebut Pondok Pesantren Sulamul Huda Siwalan mampu memboyong berbagai prestasi seperti :  juara satu lomba baris-berbaris ‘Aliyah Putri, juara dua baris-berbaris Tsanawiyah Putri, juara dua futsal Tsanawiyah Putra dan juara tiga bola  voly ‘Aliyah Putri.
Ya…! Itulah rangkaian acara awal tahun 2011 Pondok Pesantren Sulamul Huda Siwalan. Dalam  rangkaian acara tersebut ada satu acara yang kami soroti dan membuat kami sebagai alumni Sulamul Huda lebih dekat dengan pondok, yaitu Gelar Budaya 2011, yang mana acara tersebut digelar sebagai peringatan MILAD PONDOK yang jatuh pada tanggal 28 Juli 2011. Dalam sambutan Bapak Pimpinan Pondok Ustadz Muhammad Irfan Riyadi M.Ag, beliau mengatakan : “Tema acara pada malam hari ini (29 juli 2011) adalah peringatan MILAD MA’HAD yang sekarang berumur 18 tahun, yang artinya pondok ini menjadi pemuda yang siap untuk berjuang dan berkompetisi untuk islam dan saya ucapkan banyak terimakasih pada alumni-alumni yang telah datang pada malam hari ini, ada yang dari Jakarta, madiun, ngrukem, ngrayun, yang kuliyah di madinah dll. Dan pagelaran ini adalah salah satu bentuk pendidikan di Sulamul Huda di dalamnya ada puisi, drama-drama, talk show, hadroh  dll”.
“Sungguh nikmat belajar di Sulamul Huda……….”, itulah petikan kesan salah satu alumni Sulamul Huda, sebut saja namanya Ustadz Kholiq Ridwan dalam acara talk show di Apresiasi Seni Santri Gelar Budaya 2011. Begitulah Sulamul Huda dicintai oleh para alumninya. Semoga Sulamul Huda tambah maju dan ridho Alloh selalu menaunginya, aamiin.
Dokumentasi Acara Awal Tahun 2011
Pondok Pesantren Sulamul Huda Siwalan Ponorogo JATIM




               

Rabu, 08 Juni 2011

TSAQOFAH

Mutiara Hikmah dari Perjalanan Hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam

 Kisah-kisah agung dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah peneguhan nyata akan tauhid. Ketaatan dan keimanan yang luar biasa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mewujud pada tindakan yang niscaya akan teramat berat ditunaikan manusia pada umumnya. Sebuah keteladanan yang mesti kita tangkap dan nyalakan dalam kehidupan kita.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah seorang teladan yang baik. Perjalanan hidupnya selalu berpijak di atas kebenaran dan tak pernah meninggalkannya. Posisinya dalam agama amat tinggi (seorang imam) yang selalu patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mempersembahkan segala ibadahnya hanya untuk-Nya semata. Beliau pun tak pernah lupa mensyukuri segala nikmat dan karunia ilahi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan selalu berpegang kepada kebenaran serta tak pernah meninggalkannya (hanif). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia pun selalu mensyukuri nikmat-nikmat Allah.” (An-Nahl: 120-121)
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam merupakan sosok pembawa panji-panji tauhid. Perjalanan hidupnya yang panjang sarat dengan dakwah kepada tauhid dan segala liku-likunya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan beliau sebagai teladan dalam hal ini, sebagaimana dalam firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ إِلاَّ قَوْلَ إِبْرَاهِيْمَ لِأَبِيْهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ. رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian serta telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya; ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah’. (Ibrahim berkata): ‘Ya Rabb kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir, dan ampunilah kami ya Rabb kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Mumtahanah: 4-5)
Demikian pula, beliau selalu mengajak umatnya kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta mencegah mereka dari sikap taqlid buta terhadap ajaran sesat nenek moyang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِذْ قَالَ لِأَبِيْهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيْلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُوْنَ. قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءَنَا لَهَا عَابِدِيْنَ. قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ. قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللاَّعِبِيْنَ. قَالَ بَل رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُمْ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ. وَتَاللهِ لَأَكِيْدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِيْنَ. فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلاَّ كَبِيْرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُوْنَ
“(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya: ‘Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadah kepadanya?’ Mereka menjawab: ‘Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.’ Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya kalian dan bapak-bapak kalian berada dalam kesesatan yang nyata.’ Mereka menjawab: ‘Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?’ Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya Rabb kalian adalah Rabb langit dan bumi, Yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang bisa memberikan bukti atas yang demikian itu. Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhala kalian sesudah kalian pergi meninggalkannya.’ Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berkeping-keping kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (Al-Anbiya`: 52-58)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihnya, menunjukinya kepada jalan yang lurus, serta mengaruniakan kepadanya segala kebaikan dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ. وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي اْلآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami karuniakan kepadanya kebaikan di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-orang yang shalih.” (An-Nahl: 121-122)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkatnya sebagai khalil (kekasih). Sebagaimana dalam firman-Nya:
وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
“Dan Allah mengangkat Ibrahim sebagai kekasih.” (An-Nisa`: 125)
Dengan sekian keutamaan itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala wahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti agama beliau ‘alaihissalam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.’ Dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (An-Nahl: 123)
Demikianlah sekelumit tentang perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan segala keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepadanya. Barangsiapa mempelajarinya dengan seksama (mentadabburinya) niscaya akan mendulang mutiara hikmah dan pelajaran berharga darinya. Terkhusus pada sejumlah momen di bulan Dzulhijjah yang hakikatnya tak bisa dipisahkan dari sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Beberapa Amalan Mulia di Bulan Dzulhijjah
Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan mulia dalam Islam. Karena di dalamnya terdapat amalan-amalan mulia; shaum Arafah, haji ke Baitullah, ibadah qurban, dan lain sebagainya, yang sebagiannya tidak bisa dipisahkan dari sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Di antara amalan mulia tersebut adalah:
a) Haji ke Baitullah
Haji ke Baitullah merupakan ibadah yang sangat mulia dalam agama Islam. Kemuliaannya nan tinggi memosisikannya sebagai salah satu dari lima rukun Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Agama Islam dibangun di atas lima perkara; bersyahadat bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beliau Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum di bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no.16, dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma)
Ibadah haji yang mulia ini tidaklah bisa dipisahkan dari sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Terlebih tatkala kita menyaksikan jutaan umat manusia yang datang berbondong-bondong dari segenap penjuru yang jauh menuju Baitullah, menyambut panggilan ilahi dengan lantunan talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat, dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.”
Hal ini mengingatkan kita akan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ. لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“Dan berserulah (wahai Ibrahim) kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (Al-Hajj: 27-28)
Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata: “Ibadah haji mempunyai hikmah yang besar, mengandung rahasia yang tinggi serta tujuan yang mulia, dari kebaikan duniawi dan ukhrawi. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لِِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“Untuk menyaksikan segala yang bermanfaat bagi mereka.” (Al-Hajj: 28)
Haji merupakan momen pertemuan akbar bagi umat Islam seluruh dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala pertemukan mereka semua di waktu dan tempat yang sama. Sehingga terjalinlah suatu perkenalan, kedekatan, dan saling merasakan satu dengan sesamanya, yang dapat membuahkan kuatnya tali persatuan umat Islam, serta terwujudnya kemanfaatan bagi urusan agama dan dunia mereka.” (Taudhihul Ahkam, juz 4 hal. 4)
Lebih dari itu, ibadah haji mempunyai banyak hikmah dan pelajaran penting yang apabila digali rahasianya maka sangat terkait dengan agama dan sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, baik dalam hal keimanan, ibadah, muamalah, dan akhlak yang mulia. Di antara hikmah dan pelajaran penting tersebut adalah:
1. Perwujudan tauhid yang murni dari noda-noda kesyirikan dalam hati sanubari, manakala para jamaah haji bertalbiyah.
2. Pendidikan hati untuk senantiasa khusyu’, tawadhu’, dan penghambaan diri kepada Rabbul ‘Alamin, ketika melakukan thawaf, wukuf di Arafah, serta amalan haji lainnya.
3. Pembersihan jiwa untuk senantiasa ikhlas dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika menyembelih hewan qurban di hari-hari haji.
4. Kepatuhan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tanpa diiringi rasa berat hati, ketika mencium Hajar Aswad dan mengusap Rukun Yamani.
5. Tumbuhnya kebersamaan hati dan jiwa ketika berada di tengah-tengah saudara-saudara seiman dari seluruh penjuru dunia, dengan pakaian yang sama, berada di tempat yang sama, serta menunaikan amalan yang sama pula (haji). (Lihat Durus ‘Aqadiyyah Mustafadah Min Al-hajj)

b) Menyembelih Hewan Qurban
Menyembelih hewan qurban pada hari raya Idul Adha (tanggal 10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (tanggal 11,12, 13 Dzulhijjah) merupakan amalan mulia dalam agama Islam. Di antara bukti kemuliaannya adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukannya semenjak berada di kota Madinah hingga wafatnya. Sebagaimana yang diberitakan sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma:
أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِيْنَةِ عَشْرَ سِنِيْنَ يُضَحِّي
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun tinggal di kota Madinah senantiasa menyembelih hewan qurban.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dia -At-Tirmidzi- berkata: ‘Hadits ini hasan’)
Penyembelihan hewan qurban, bila dirunut sejarahnya, juga tidak lepas dari sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan putra beliau Nabi Ismail ‘alaihissalam. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan dalam kitab suci Al-Qur`an:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ الْمُبِيْنُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي اْلآخِرِيْنَ. سَلاَمٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
“Maka tatkala anak itu (Ismail) telah sampai (pada umur sanggup) untuk berusaha bersama-sama Ibrahim, berkatalah Ibrahim: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’.” (Ash-Shaffat: 102-109)
Demikianlah sosok Ibrahim, yang senantiasa patuh terhadap segala sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepadanya walaupun berkaitan dengan diri sang anak yang amat dicintainya. Tak ada keraguan sedikit pun dalam hatinya untuk menjalankan perintah tersebut. Ini tentunya menjadi teladan mulia bagi kita semua, dalam hal ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Para Da’i (Pegiat Dakwah)
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengandung banyak pelajaran berharga bagi para da’i. Di antara pelajaran berharga tersebut adalah:
a) Para da’i hendaknya membangun dakwah yang diembannya di atas ilmu syar’i. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika mendakwahi ayahnya (dan juga kaumnya):
يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا
“Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian dari ilmu yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 43)
Dan demikianlah sesungguhnya jalan dakwah yang ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sang uswatun hasanah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Inilah jalanku, aku berdakwah di jalan Allah di atas ilmu, demikian pula orang-orang yang mengikuti jejakku. Maha Suci Allah dan aku tidaklah termasuk orang-orang musyrik’.” (Yusuf: 108)
b) Para da’i hendaknya berupaya menyampaikan kebenaran yang diketahuinya secara utuh kepada umat, serta memperingatkan mereka dari segala bentuk kebatilan dan para pengusungnya. Kemudian bersabar dengan segala konsekuensi yang dihadapinya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:
وَإِبْرَاهِيْمَ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ اعْبُدُوا اللهَ وَاتَّقُوْهُ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ. إِنَّمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُوْنَ إِفْكًا إِنَّ الَّذِيْنَ تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ لاَ يَمْلِكُوْنَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوْهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ. وَإِنْ تُكَذِّبُوا فَقَدْ كَذَّبَ أُمَمٌ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمَا عَلَى الرَّسُوْلِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِيْنُ
“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: ‘Beribadahlah kalian kepada Allah semata dan bertaqwalah kalian kepada-Nya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mau mengetahui. Sesungguhnya apa yang kalian ibadahi selain Allah itu adalah berhala, dan kalian telah membuat dusta. Sesungguhnya yang kalian ibadahi selain Allah itu tidak mampu memberi rizki kepada kalian, maka mintalah rizki itu dari sisi Allah dan beribadahlah hanya kepada-Nya serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kalian akan dikembalikan. Dan jika kalian mendustakan, maka umat sebelum kalian juga telah mendustakan dan kewajiban Rasul itu hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya.” (Al-‘Ankabut: 16-18)
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pun tetap bersabar dan istiqamah di atas jalan dakwah manakala umatnya melancarkan segala bentuk penentangan dan permusuhan terhadapnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلاَّ أَنْ قَالُوا اقْتُلُوْهُ أَوْ حَرِّقُوْهُ فَأَنْجَاهُ اللهُ مِنَ النَّارِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ
“Maka tidak ada lagi jawaban kaum Ibrahim selain mengatakan: ‘Bunuhlah atau bakarlah dia!’, lalu Allah menyelamatkannya dari api (yang membakarnya). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.” (Al-‘Ankabut: 24)
Demikian pula Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, perjalanan dakwah beliau merupakan simbol kesabaran di alam semesta ini.
Sosok Nabi Ibrahim ‘alaihissalam merupakan teladan bagi para da’i secara khusus dan masing-masing individu secara umum dalam hal kepedulian terhadap kondisi umat dan negeri. Hal ini sebagaimana yang tergambar pada kandungan doa Nabi Ibrahim yang Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam Al-Qur`an:
رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ أَمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ
“Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (Al-Baqarah: 126)

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Para Orangtua
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, merupakan cermin bagi para orangtua dalam perkara pendidikan dan agama anak cucu mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيْمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُ يِا بَنِيَّ إِنَّ اللهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan kalimat itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini bagi kalian, maka janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam’.” (Al-Baqarah: 132)
Bahkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tak segan-segan berdoa dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk keshalihan anak cucunya, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam Al-Qur`an:
رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ
“Wahai Rabb-ku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari perbuatan menyembah berhala.” (Ibrahim: 35)
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku beserta anak cucuku orang-orang yang selalu mendirikan shalat. Wahai Rabb kami, kabulkanlah doaku.” (Ibrahim: 40)
Setiap orangtua mengemban amanat besar untuk menjaga anak cucu dan keluarganya dari adzab api neraka. Sehingga dia harus memerhatikan pendidikan, agama dan ibadah mereka. Sungguh keliru, ketika orangtua acuh tak acuh terhadap kondisi anak-anaknya. Yang selalu diperhatikan justru kondisi fisik dan kesehatannya, sementara perkara agama dan ibadahnya diabaikan. Ingatlah akan seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari adzab api neraka.” (At-Tahrim: 6)

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Para Anak
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga mengandung pelajaran berharga bagi para anak, karena beliau adalah seorang anak yang amat berbakti kepada kedua orangtuanya serta selalu menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan cara yang terbaik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِذْ قَالَ لِأَبِيْهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لاَ يَسْمَعُ وَلاَ يُبْصِرُ وَلاَ يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا. يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا. يَا أَبَتِ لاَ تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا. يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
“Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tiada dapat mendengar, tiada pula dapat melihat dan menolongmu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian dari ilmu yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah menyembah setan, sesungguhnya setan itu durhaka kepada Allah Dzat Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa adzab dari Allah Dzat Yang Maha Pemurah, maka engkau akan menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 42-45)
Ketika sang bapak menyikapinya dengan keras, seraya mengatakan (sebagaimana dalam ayat):
أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيْمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
“Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti (dari menasihatiku) niscaya kamu akan kurajam! Dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.” (Maryam: 46)
Maka dengan tabahnya Ibrahim ‘alaihissalam menjawab:
سَلاَمٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Rabbku, sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47)
Demikianlah seyogianya seorang anak kepada orangtuanya, selalu berupaya memberikan yang terbaik di masa hidupnya serta selalu mendoakannya di masa hidup dan juga sepeninggalnya.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Para Suami-Istri
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga mengandung pelajaran berharga bagi para suami-istri, agar selalu membina kehidupan rumah tangganya di atas ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini tercermin dari dialog antara Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan istrinya yang bernama Hajar, ketika Nabi Ibrahim membawanya beserta anaknya ke kota Makkah (yang masih tandus dan belum berpenghuni) atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata: “Kemudian Ibrahim membawa Hajar dan sang putra Ismail –dalam usia susuan– menuju Makkah dan ditempatkan di dekat pohon besar, di atas (bakal/calon) sumur Zamzam di lokasi (bakal) Masjidil Haram. Ketika itu Makkah belum berpenghuni dan tidak memiliki sumber air. Maka Ibrahim menyiapkan satu bungkus kurma dan satu qirbah/kantong air, kemudian ditinggallah keduanya oleh Ibrahim di tempat tersebut. Hajar, ibu Ismail pun mengikutinya seraya mengatakan: ‘Wahai Ibrahim, hendak pergi kemana engkau, apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tak berpenghuni ini?’ Dia ulang kata-kata tersebut, namun Ibrahim tidak menoleh kepadanya. Hingga berkatalah Hajar: ‘Apakah Allah yang memerintahkanmu berbuat seperti ini?’ Ibrahim menjawab: ‘Ya.’ Maka (dengan serta-merta) Hajar mengatakan: ‘Kalau begitu Dia (Allah) tidak akan menyengsarakan kami.’ Kemudian Hajar kembali ke tempatnya semula.” (Lihat Shahih Al-Bukhari, no. 3364)
Atas dasar itulah, seorang suami harus berupaya membina istrinya dan menjaganya dari adzab api neraka. Demikian pula sang istri, hendaknya mendukung segala amal shalih yang dilakukan suaminya, serta mengingatkannya bila terjatuh dalam kemungkaran.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikianlah mutiara hikmah dan pelajaran berharga dari perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang menyentuh beberapa elemen penting dari masyarakat kita. Semoga kilauan mutiara hikmah tersebut dapat menyinari perjalanan hidup kita semua, sehingga tampak jelas segala jalan yang mengantarkan kepada Jannah-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Selasa, 12 April 2011

Kegagalan yang Berulang Mengapa Pemuda Selalu dalam Kritis?


Kegagalan yang Berulang
Mengapa Pemuda Selalu dalam Kritis?
Pemuda adalah terminal bagi setiap minat dan cita-cita. Pemuda adalah permasalahan besar yang harus diangkat dan didiskusikan dalam perkumpulan-perkumpulan kita.
Membangun pemuda lebih penting daripada membangun jembatan, jauh lebih penting daripada sekadar membuat jalan, bahkan lebih penting membuat gedung-gedung pencakar langit. Itu semua tidak ada nilainya di tengah sirnanya pemuda.
Apakah Artinya Tanah Air Tanpa Kehadiran Pemuda
Obrolan, diskusi, ceramah panjang......akan tetapi realitanya, pemuda entah ada di mana, dan orang yang bicara tentang mereka pun entah di mana pula.
        Walhasil, kegagalan berulang terus berlanjut hingga sulit menghindarinya. Krisis datang silih berganti dan begitu cepat. Namun tidak ada seorang pun yang mencari tahu penyebab kegagalan ini, tidak juga tentang krisis yang berkepanjangan. Mereka hanya bertanya : Mengapa pemuda kita berubah, tidak seperti dulu? Semua berubah: pakaian, model, fisik, perilaku,......
        Hati para orangtua, guru, dan semua yang peduli dengan kebaikan dipenuhi kemalangan. Semua bertanya-tanya: Di mana iman? Kemana ikhlas? Mana semangat yang menggelora? Mana kerja yang gigih? Di mana kemauan yang kuat? Ke mana para pemuda? Jawabannya nol. Siapa? Pemudanya nol.
        Mengapa? Seoarang pun tidak ada yang berupaya mengungkap sebab, mengapa pemuda menjadi seperti ini.
        Mereka begitu dikarenakan hal-hal berikut ini.
Pertama: Kehilangan Misi dan Tujuan
Ke mana para pemuda brafiliasi? Tentu kepada umat Islam. Umat Islam merupakan umat Allah, pembawa risalah-Nya untuk seluruh alam, dimulai dari generasi sahabat, tabi’in, hingga berakhir pada generasi mujahidin yang kelak memerangi dajjal bersama Isa Ibnu Maryam.
        Hilangnya misi dan tujuan yang keduanya merupakan argumen dasar kelahiran umat ini merupakan penyebab utama kegagalan yang menimpa umat kita serta hilangnya peran pemuda.
“Umat ini adalah umat berakidah, umat dakwah, umat iman......              jika tidak kembali seperti semula, apa jadinya pemuda-pemudanya?”
        Bangsa Arab telah berperan dalam menolong agama ini. Mereka menahan derita yang hebat dalam membawa dan menyebarkan risalah ini. Mereka memilih misi dan tujuan agung. Namun, misi dan tujuan itu kini telah berubah. Yang ada adalah kepentingan duniawi yang bertolak belakang dengan agama. Yang ada adalah misi-misi remeh tak berarti. Akibatnya, umat terpecah-pecah menjadi bangsa dan negara-negara kecil.
        Kekuatan politik (umat) pun menjadi lemah. Pemimpin setiap negeri hanya memikirkan bagaimana menjaga kursinya. Ia telah lupa firman Allah Swt., “Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.” (Q.S. Ali ‘Imran: 110)
        Sementara itu, masyarakat secara otomatis akan mudah mengikuti kebiasaan pemimpin-pemimpinnya. Misi para pemimpin pun akhirnya menjadi misi rakyat, menjadi misi setiap warga, termasuk para pemuda umat ini.
“Maka, bersamaan dengan hilangnya misi dan tujuan, peran pemuda pun menjadi sirna.”
Kedua: Hidup dalam Situasi Krisis Kepercayaan terhadap Lingkungan
Lihatlah lingkungan tempat para pemuda itu........ Semua tengah dilanda krisis kepercayaan. Tsiqoh (kepercayaan) telah tercerabut dari masyarakatnya. Krisis kepercayaan terjadi antara penguasa dan rakyat. Ada saling curiga, takut, dan tidak ada rasa percaya.
        Krisis kepercayaan antara mahasiswa dan dosen, sisiwa dan guru, antara generasi muda dan orang tua, antara kaum pria dan wanita, atasan dan bawahan. Kelompok-kelompok yang beraneka ragam, golongan yang berbeda-beda, strata sosial yang bertingkat, satu sama lain tidak saling percaya, tidak saling bekerja sama.
        Akibatnya, skill, kemampuan, dan keahlian individu menjadi mandul.
        Akibatnya, krisis kepercayaan itu mengebiri semangat kreativitas, inovasi, produktivitas, kesungguhan, dan kerja sama.
        Akibatnya, yang ada adalah mencari-cari kesalahan dan aib orang lain. Malah di saat tidak menemukannya, kita sendiri justru yang membuat dan menciptakannya.
        Akhirnya kerusakan menyeluruh terjadi di masyarakat, lingkungan tempat para pemuda. Selanjutnya ia hidup memisahkan diri dan masuk dalam krisis berikutnya. Ia terus hidup termarginalkan dalam segala hal.
Ketiga: Kehilangan Qudwah (Panutan)
Al-Qudwah tidak mungkin terwujud tanpa tarbiyah. Sementara itu, tarbiyah sejati tidak ada, karenanya qudwah tidak pernah terwujud. Lalu kepada siapa para pemuda ber-qudwah? Qudwah harus hidup, sebab qudwah yang hidup adalah esensi dari tarbiyah dan ajaran etika.
        Sekarang kita bertanya, mana keteladanan seorang ayah bagi sang anak di rumah? Atau seorang ibu untuk anak perempuannya?
        Mana keteladanan dalam media informasi? Media terkadang hanya menampilkan artis sebagai idola, pemain bola sebagai sang idola, atau terkadang pemimpin, hartawan, dan pribadi biasa yang tiba-tiba melejit.
        Padahal sang ayah seorang pencuri, pembual di mata anaknya.
        Artis yang hiprokit, bersikap kontra agama, adab, dan etika umum.
Pemain bola yang Anda saksikan di layar kaca mencaci dan menghina, atau di lapangan hijau berlaku asusila sehingga terseret ke pengadilan.
        Kaum pemimpin, hartawan, dan pribadi awam, sekarang berkelana di belakang rel kereta, atas tuduhan kriminal, perampokan uang di bank demi kepuasan-kepuasan haram.
        Akhirnya, pemuda tak menemukan idolanya, sementara setiap orang berebut lebih dari satu figur-figur buruk. Di benaknya, ia adalah si fulan dan si fulan. Padahal, mereka semua bukanlah panutan yang baik. Sebaliknya, para tokoh teladan itu menghilang dari kehidupan pemuda, lalu akhirnya pemuda harus hidup sendiri.
Keempat: Kehilangan Motivasi
Jika Anda bertanya kepada seorang pemuda, setelah selesai sekolah mau jadi apa? Apa yang ia inginkan? Menjadi dokterkah seperti ayahnya? Insinyurkah seperti ibunya atau petani seperti kakeknya?
        Jawabannya: “Aku tidak tahu”
Artinya, ia sekolah hingga lulus tanpa pernah berpikir serius tentang pelajaran yang dipelajarinya selama bertahun-tahun, dengan menghabiskan biaya besar dan jerih payah orangtuanya. Sebuah perjuangan tanpa tujuan, kekuatan yang tidak di bimbing akal.
        Di manakah motivasi yang membuatnya merasakan kehadiran jati dirinya? Yang mendorongnya berkarya, berkorban, dan berpartisipasi dalam membangun hal-hal yang baik.  Kita benar-benar lupa kalau syariat Allah lebih dulu telah menetapkan adanya pahala dan balasan. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Q.S. Az-Zalzalah:7)
        Inilah salah satu motivator jitu, pahala di sisi Allah bagi setiap amal baik dan siksa bagi amal buruk. Bagaimana motivasi itu akan tumbuh seandainya Anda meyakini kalau kaki pemain-pemain bola itu lebih mulai ketimbang kepala para ulama. Tidak ada lagi motivasi yang mendorong untuk berkarya, berkorban, dan berbuat maksimal.
Tidak ada lagi motivasi bagi para ulama dan kreator.
Para guru, pendidik dan kaum profesional tak lagi memiliki      motivasi.
Begitu juga para peneliti dan pemerhati.
Tak ada lagi motivasi bagi orang berbakat.
Tak berbeda lagi antara sang inovator, orang biasa, dan si tukang tidur.
Jadi, mengapa aku harus bersusah payah dan bersungguh-sungguh? Yang tumbuh adalah perasaan berontak, ‘uzlah (menghindar), menarik diri, dan tidak menyesuaikan diri dengan masyarakat. Tidak Cuma itu, yang terjadi adalah memerangi masyarakat itu sendiri. Bertambahnya rasa benci dan dendam di antara warga.
Kelima: Hidup dalam Krisis Profesionalitas
Feodalisme, fanatisme golongan, atau rasisme hadir dalam kehidupan. Standar penilaian  dalam taqwim (evaluasi), taqdim (promosi), taudhif (penempatan job), dan ri’ayah (memberikan perhatian) seseorang tidak lagi dilandasi standar syariah. Allah berfirman, “Karena sesungguhnya orang yang paling baik  yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat di percaya.” (Q.S. Al- Qashash:26)
        Padahal ayat di atas mengisyaratkan bahwa al-quwwah (kekuatan, potensi) dan al-amanah (kejujuran) itu adalah menurut standar agama.
Quwwah harus hadir dalam ilmu, akhlak profesionalisme, dan amanah (jujur).
        Ketika standar syari’ah itu tidak diterapkan, akibatnya terjadilah krisis. Orang-orang yang gigih, reformis, dan jujur harus tersingkir demi kepentingan kerabat dan teman dekat. Akibatnya, kekayaaan raksasa itu menjadi sia-sia, terutama potensi pemudanya. Amanah pun sirna. Oleh karena itu, untuk apa para pemuda menaruh perhatian terhadap kemampuannya serta mengembangkannya dengan segala cara?
Keenam: Hidup dalam Krisis Beragama
Para pemuda hidup dalam krisis menipisnya rasa muraqabatullah, hilangnya rasa takut sekiranya nanti bertemu dengan-Nya. Oleh karena itu, bagaimana dirinya mampu menanamkan neraca dan timbangan dalam menerima kebaikan dan menolak kejahatan secara sadar?
        Perhatikan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam-ketika itu sebagai pemuda- dalam sebuah rumah istri Al-‘Aziz sang pemilik rumah, segala sesuatu telah dimudahkan untuknya berbuat sesuka hati, pintu-pintu telah terkunci, mereka hanya berdua bahkan si wanita menawarkan dirinya, “mari kemarilah”.
        Dengan tegar Yusuf menjawab,”Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik, sesungguhnya orang-orang yang zhalim tidak akan beruntung.” (Q.S. Yusuf: 23)
        Ini sungguh sebuah peristiwa yang dahsyat, sebuah perasaan takut terhadap Allah dan kesadaran beragama yang menjadikan pemuda menghindari perkara haram walaupun berada dalam genggamannya. Kekuatan yang telah mendorongnya berbuat taat, meski membahayakannya.
        Sebaliknya, jika tidak ada keyakinan dan perasaan tersebut, Anda akan mendapatkan pemimpin yang melupakan tugasnya, guru yang lalai dalam kewajibannya......pelajar yang tidak peduli dengan masa depannya.....ayah yang tidak berperan sebagai kepala rumah tangga bagi keluarga dan anaknya.....
        Mereka semua telah lalai dan melupakan tugas. Penyebabnya adalah lemahnya kesadaran beragama, sehingga ruhnya menjadi kering, dalam hatinya tidak ada cahaya, tidak ada yang menyadarkannya. Yang ada hanya kepercayaan materialisme, seakan materi adalah segalanya dalam hidup ini.
        Jika bicara soal taqwa, petunjuk, ‘iffah (menjaga diri), dan kekayaan jiwa, anda mendapatinya memiringkan kepalanya seolah tidak percaya dengan perkara  tersebut. Ia hanya percaya kepada yang konkret, kausalitas, dan perkara-perkara yang didasarkan pada metode ilmiah yang memiliki konklusi.
        Akibatnya, niat tulus dalam bekerja lenyap. Tidak ada yang bekerja kecuali untuk kepentingan duniawi yang sesaat.
Akibatnya, perintah didengarkan, tapi dilanggarnya, larangan disimak, namun dilakukan juga.
        Akibatnya, hak-hak Allah terlupakan, begitu juga hak-hak sesama terabaikan. Bahkan terkadang ia berbuat zhalim kepadanya dan kepada dirinya sendiri.
Ketujuh: Reaksioner, Emosional, Jumud, dan Tidak Memiliki Daya Saing
Berikut ini beberapa perilaku yang disadari atau tidak telah terbentuk dalam pemikiran dan perilaku kaum muda.
·         Kita tidak mengetahui problem kita sesungguhnya, bahkan terkadang mengingkarinya. Terkadang juga kita merasa tidak mampu melakukan kreasi baru dari yang sudah ada. Semua berjalan persis seperti yang sudah-sudah. Kita tidak memiliki daya saing. Sebagian di antara kita lebih senang berada dalam status quo, tidak mau berubah dan pasrah dengan apa yang ada.
·         Sebagian dari kita memecahkan persoalan dengana cara yang tidak produktif, misalnya dengan berdebat, berlebihan dalam menanggapi, ta’ashub (fanatik), terlalu memihak salah satu teori tertentu, mengimpor metode pemecahan yang sudah jadi, atau malah membiarkan masalah berlarut-larut dengan anggapan, nanti waktu yang akan menjawabnya.
·         Kadang kita juga hanya mengandalkan dan menunggu orang lain untuk bertindak, menghadapi persoalan dengan perasaan. Semua itu hanya melanggengkan derita dan tidak menghentikan kolaps.
·         Sebagian dari kita tidak percaya dengan keterusterangan, saling menasehati di antara kita. Tidak ada transparansi dan tidak mendiskusikan persoalan dengan cara yang benar. Hal ini karena kita terkadang tidak menginginkan adanya pergolakan dan timbul fitnah.
·         Sebagian dari kita memiliki wawasan yang sempit, ta’ashub dengan adat dan kebiasaan serta berpegang kepada aksioma dan doktrin yang tidak memiliki dasar syar’i maupun aqli.
·         Sebagian dari kita memfokuskan kepada kesalahan dan penyimpangan.
·         Lebih memperhatikan bentuk daripada esensi, kuantitas daripada kualitas.
·         Selalu melupakan mereka.
Kedelapan: Hidup sebagai Pengecut
“Mata pengecut tak pernah bisa terpejam”, begitu sebuah pepatah mengatakan. Kita hidup dalam sejarah itu. Kita menanamkan ketakutan dalam diri pemuda kita, khawatir dari segala hal. Kita menghalangi mereka melakukan experiment (pengalaman dan percobaan) dengan alasan hal itu akan mengancaam hidupnya.
        Akhirnya, ia menjadi takut bertindak berani dan menjadi pengecut. Ia takut gagal dan kehilangan kesuksesan. Ia takut salah dan karenanya selamanya tidak dapat bertindak tepat.
        Lalu kita menerawang ke belakang dan bertanya-tanya; Di mana kita bisa dapatkan contoh nabiyullah Musa ‘Alaihissalam-sebagai pemuda- berdiri tegar di depan penguasa thagu yang mengaku Ilah dan berlaku congkak, Fir’aun.
        Di mana kita bisa temukan pemuda seperti Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang mengumpulkan kaumnya. Di sana ada Abu Lahab, Abu Jahal, Uthbah, Syaibah, dan Umayyah bin khalaf serta segenap para pembesar Quraisy. Kemudian beliau berdiri tegar di hadapan mereka sebagai pemeberi peringatan.
        Di mana kita bisa menemukan pemuda belia seperti Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, kekasih Allah yang menghancurkan berhala-berhala lalu mengatakan kepada kaumnya termasuk Namruz pimpinannya, sang pembangkang besar. “Ah, (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?” (Q.S. Al-Anbiya:67)
        Jika mereka itu para nabi (dan kita menganggapnya sebagai hal yang wajar), kita bisa bertanya dengan contoh lainnya. Mana keberanian Imam Ahmad bin Hanbal ketika berdiri menghadang kaum zhalim dalam masalah Kholqul Quran.
        Kemudian juga Ibnu Taimiyyah ketika bersabar dan terus menyuarakan kebenaran, meskipun untuk itu ia harus menanggung derita, dipenjara, dan disiksa.
        Keberanian adalah kekuatan dalam hati yang menjadikan pemiliknya tidak nekat dan tidak lari meski seorang diri. Ia tidak melepaskan kebenaran meski hal itu menuntut pengorbanan. Ia tidak akan berbasa-basi, berbuat nifak atau menjilat.
        Kita hidup sebagai pengecut. Oleh karena itu, kembali kita bertanya-tanya: Mengapa pemuda berbuat begitu?
Kesembilan: Menjadi Mangsa Ghazwul Fikri
Dunia kini ibarat sebuah kampung. Satu peristiwa yang terjadi di ujung bumi sana, pengaruhnya bisa dirasakan penduduk di ujung bumi lainnya. Inovasi-inovasi baru di bidang pakaian atau mode, pemikiran atau ideologi dalam waktu yang relatif singkat bisa menambah dan digandrungi barat dan timur. Itu semua disebarkan melalui media, yang sekarang hampir tidak ada daerah atau negeri yang luput darinya.
        Stasiun-stasiun pemancar, televisi, radio, video, audio visual,........ koran, buku, seminar-seminar..... dan lain-lain, semua itu telah menularkan dampak dan pengaruh kepada yang lainnya. Kita tentunya membutuhkan kerja keras bukan untuk menutup akses media-media tersebut, namun untuk memberikan arahan dan penjelasan serta counter terhadap syubuhat dan pemikiran-pemikiran serta ideologi-ideologi impor.
        Akan tetapi, kekuatan yang kita miliki masih sangat kecil untuk menghadapi arus kuat perang pemikiran dan informasi ini. Jelas, secara otomatis itu menyebabkan hilangnya peran pemuda dan lainnya.
        Akibatnya, perilaku-perilaku aneh kerap ditemukan dalam kehidupan pemuda kita. Padahal kehidupan pemuda yang kacau...... merupakan hal mendasar.
        Artinya apa? Persoalan menjadi kompleks. Tidak ada tujuan jelas dan kerja yang profesional. Seseorang memulai sebuah pekerjaan lalu ditinggalkan; menggarap satu proyek tapi tidak diselesaikan; menempuh satu cara kemudian berpindah  ke yang lain. Begitulah terus silih berganti. Waktu dan tenaga terbuang percuma. Kegagalan tak terelakan. Adanya rasa futur (patah semangat) dan inqitha’ (terputus).
Adapun potret ketidakberesan kehidupan pemuda adalah:
a.   Kacau dalam belajar.
b.   Serampangan dalam kegiatan belajar-mengajar.
c.   Kacau dalam manajemen waktu,seperti
·         Pekerjaan kecil menghabiskan waktu dan tenaga melebihi dari yang seharusnya;
·         Membuang-buang waktu tanpa melakukan tugas apa pun;
·         Menumpuknya lebih dari satu tugas pada satu waktu;
·         Menghabiskan waktu dalam urusan sia-sia;
·         Program harian berlalu tanpa perencanaan;
·         Berkunjung dan ziarah yang tidak teratur.
d.    Ketidakteraturan  terjadi di mana-mana sampai dalam beribadah, bagi orang yang multazim sekalipun. Terkadang kita dapati seorang pemuda yang rajin tilawah, kemudian berhenti lama sampai tergolong sebagai orang yang menjauhi Al Qur’an. Kadang, ia rajin shaum lalu berhenti, atau shalat malam, kemudian meninggalkannya, bahkan terkadang merembet ke perkara-perkara wajib. Ia mulai shalat sendiri tidak berjamaah, umpamanya.
Hal yang sama bisa terjadi dalam berdakwah kepada Allah, sangat mungkin Anda mendapati seseorang membina sebuah generasi secara serampangan, sedangkan ia tidak menyadarinya.
e.   Serampangan dalam membuat program yang meliputi
·         Serampangan dalam materi-materi yang akan disampaikan;
·         Serampangan dalam berfikir.
Apa yang kemudian terjadi?
·         Pikiran menjadi bercabang sehingga tidak mampu membuat keputusan tepat.
·         Gelisah dan banyak murung.
·         Kemauan yang lemah yang menimbulkan rasa malas, tidak ulet dalam bekerja.
·         Tidak mengadakan monitoring atau evaluasi terhadap dirinya.
·         Hilangnya empati dan cinta.
·         Malas dan futur.
·         Tidak mau menerima nasihat.
·         Tidak peduli, selalu negative thinking dan kalah sebelum bertanding.
·         Hilangnya kekuatan sabar.
·         Tujuan yang tidak jelas.
·         Tidak ada skala prioritas.
·         Tidak ada pembagian tugas.
Bukan itu saja, bahkan sangat mungkin melebar menjadi
·         Merasakan kebosanan belajar,
·         Melawan arus dan banyak bercanda;
·         Melanggar aturan;
·         Menjadi pecandu obat terlarang;
Akhirnya, kita mendapatkan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi lumrah:
·         Hidup untuk dirinya sendiri.
·         Cenderung untuk tidak melaporkan kejadian yang dilihatnya (bersikap apatis).
·         Meremehkan aturan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
·         Membatasi perhatiannya hanya dalam lingkungan keluarga.
·         Melalaikan tugasnya tanpa ada rasa peduli.
·         Dalam pandangannya, kebahagiaannya dan kenyamanan dirinya adalah tujuan utamanya.
·         Tidak melibatkan diri dalam urusan apapun, sekalipun terjadi di hadapannya.
·         Peristiwa-peristiwa nasional yang terjadi tidak membuatnya bergeming.
·         Orang lain tidak mendapatkan bagian dalam hidupnya.
·         Tidak memikirkan kerusakan yang terjadi pada fasilitas umum.
·         Ia berprinsip selama bahaya tidak menimpa dirinya, persetan dengan orang lain  mau ke neraka sekalipun.
·         Ia beranggapan menjauhi manusia adalah ghanimah.
·         Ia meyakini pepatah:
§  Merusaklah, engkau akan makmur. Tak ada urusan, yang penting rumahku aman.
§  Mempelai wanita untuk mempelai pria, bagi yang tersungkur harus berlari.
§  Juha lebih berhak mendapatkan daging kerbaunya. Setiap orang memikul tanggung jawabnya.
·      Membiarkan orang lain berbuat yang menurut mereka manis, sekalipun itu salah.
·      Membiarkan orang yang menyia-nyiakan potensi masyarakat, ia tidak merasa terganggu dengan perbuatan itu.
·      Ia menganggap, penjajahan dan kehinaan yang terjadi dengan orang lain adalah urusan mereka, mengapa dirinya harus sibuk dengannya.
·      Ia menyakini bahwa persoalan-persoalan masyarakat dan negara adalah bukan urusannya.
·      Sibuk mengurusi problemnya dan tidak peduli dengan problem orang lain.
·      Menurutnya yang utama adalah dirinya, adapun yang selainnya hanyalah angin.
·      Tidak mengulurkan tangannya untuk membantu orang yang ditimpa bahaya.
·      Menurutnya, pengorbanan itu tindakan gila. Tidak ada yang berhak menerima pengorbanan.
·      Meyakini bahwa ruang lingkup gerakannya hanya seputar rumah, pekerjaan, dan tempat ibadahnya.
·      Mencoba untuk menyenangkan semua pihak, meskipun mengorbankan kebenaran.
·      Tidak ambil pusing dengan pelanggaran apapun yang terjadi yang mengusik kepentingan umum.
·      Tidak mengetahui sedikitpun tentang tetangganya dan memang tidak harus mengetahui.
·      Lebih senang jalan sendiri tanpa teman.
·      Tidak serius dalam mendiskusikan topik apapun.
·      Tidak peduli dengan tradisi masyarakat atau aturan-aturannya.
·      Cenderung dengan permainan perorangan daripada kelompok.
·      Tidak membebani dirinya untuk menasehati atau menunjuki yang berbuat salah.
·      Segala aktivitas sosial atau politik adalah musuh.
·      Tidak penting baginya kenyamanan dan kemaslahatan orang lain, yang penting adalah kenyamanan dirinya.
·      Tidak memiliki teman, cukup dirinya adalah temannya. Sementara itu, persahabatan adalah tipu muslihat dan mengancam kepentingannya.
·      Membenci setiap perkumpulan dan berusaha menjauhinya.
·      Tidak menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
·      Perasaan orang lain baginya tidak ada harganya, sehingga tidak perlu bersimpati.
·      Melaksanakan sholat di rumah meskipun dekat dengan masjid, itu untuk menghindari bersinggungan dengan jamaah.
·      Tidak peduli dengan kesusahan orang, kesusahan dirinya sudah cukup.
·      Menjual kesusahan orang dan mengambil manfaat darinya.
·      Tidak peduli apakah keluar dari akhlak dan tatanan nilai.
·      Sikapnya tergantung arus yang ada.
·      Tidak merasa terganggu dengan kerusakan.
·      Selama problem negara tidak mempengaruhi hidupnya, ia tidak akan peduli.
·      Tidak memiliki intima (loyalitas) politik maupun idiologi, ia tidak mendukung klub olahraga manapun.
·      Bersikap masa bodoh, sebagai akibat pudarnya orisinalitas akhlak dan keteladanan.
·      Menyesuaikan dengan selera orang untuk menghindari kejahatannya.
·      Menentang tradisi dan aturan masyarakat, serta terang-terangan menyalahinya.
·      Menyembunyikan kesaksian demi kesenangan semua pihak.
·      Tidak memiliki rasa malu dari perbuatan salah atau saat melakukannya.
Di akhir bahasan ini, saya menyiapkan analisis tentang faktor-faktor terpenting pendorong penyimpangan pemuda yang berkaitan dengan beberapa aspek, di antaranya:
a.   Aspek agama
·         Nilai-nilai meterialisme yang mengungguli nilai-nilai ruhiyah (spiritual).
·         Tidak dtegakkannya hukum islam (syari’at hudud).
·         Mandulnya metode-metode nasihat dan bimbingan agama.
b.   Aspek budaya dan informasi
·         Lemahnya perhatian media tentang persoalan pemuda.
·         Materi-materi media yang kontra dengan nilai-nilai masyarakat.
·         Mandulnya lembaga-lembaga budaya dalam gerakan pencerahan.
·         Ghozwu tsaqofi (perang budaya).
·         Kecilnya peluang pemuda dalam berkiprah di media informasi.
c.   Aspek pendidikan
·         Lemahnya pengawasan orangtua terhadap perilaku pemuda.
·         Lemahnya metode pendidikan agama dalam mempersiapkan pemuda.
·         Hilangnya peran guru teladan.
d.   Aspek sosial kemasyarakatan
·         Pudarnya sebagian nilai nilai kemasyarakatan (persahabatan: manfaat; kedermawanan: dibuat-buat; pengorbanan: perbuatan gila).
·         Egoisme dan perseteruan lebih dominan ketimbang kerja sama.
·         Solidaritas sosial lemah.
·         Maraknya penyakit-penyakit sosial, seperti suap, hipokrit.
·         Lemahnya nilai spiritual masyarakat serta lemahnya kesadaran akan krisis.
e.   Aspek politik
·         Kecilnya peluang pemuda dalam partisipasi politik.
·         Lemahnya kesadaran berpolitik di kalangan pemuda.
·         Tidak adanya kesamaan sikap antarpemuda dan lembaga-lembaga kepemudaan.
·         Adanya anggapan di kalangan pemuda bahwa partisipasi politik apa pun tidaklah efektif.
·         Kekhawatiran pemuda akan keterlibatannya dalam politik.
·         Ide-ide pemuda berkenaan dengan persoalan-persoalan bangsa tidak mendapatkan akses.
f.    Aspek kejiwaan
·         Ketidakmampuan pemuda menampakkan jati dirinya.
·         Hilangnya tujuan suci dalam hidup.
·         Suramnya hari esok, putus asa dengan masa depan.
·         Tekanan hidup dan perasaan tidak mampu.
·         Ambisi-ambisi yang kurang cerdas di kalangan pemuda.
g.   Aspek ekonomi
·         Peluang kerja yang kecil, pengangguran para alumni.
·         Kesenjangan yang kontras.
·         Krisis penduduk serta pemanfaatan kesulitan pemuda.
Nah, yang penting bagi kita sekarang adalah memulai dengan yang baru. Ya..... memulai mengenali pemuda. Wahai pemuda siapa kalian?

                            Sumber: Buku “The Power of Youth” karangan Muhammad Fathi.